Gindha Ansori Wayka,SH.,MH |
Taktik Lampung - Koordinator Presidium Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Provinsi Lampung Gindha Ansori Wayka,SH.,MH angkat bicara terkait maraknya pemberitaan APBD Lampung Selatan yang diduga mendepositokan ke salah satu Bank tanpa sepengetahuan DPRD setempat dan tidak sesuai dengan amanah undang-undang.
Pengacara muda terkenal ini mengatakan, terkait deposito anggaran Rp. 250 Milyar milik Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, pada dasarnya secara hukum diperkenankan, dengan catatan harus memenuhi standar teknis pelaksanaan sebagaimana amanah Undang-Undang.
"Didalam Pasal 131 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dijelaskan bahwa dalam rangka manajemen kas, Pemerintah Daerah dapat mendepositokan dan/atau melakukan investasi jangka pendek atas uang milik Daerah yang sementara belum digunakan sepanjang tidak mengganggu likuiditas Keuangan Daerah, tugas daerah, dan kualitas pelayanan publik." Kata Ansori melalui pesannya, Kamis (24/11/2019)
Oleh sebab itu, dengan adanya ketentuan hukum terkait deposito uang daerah ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dan dikaji, apakah upaya Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan mendepositokan APBD tersebut atas dana sementara yang belum digunakan?, apakah dengan deposito ini tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah?, dan terakhir apakah upaya ini dapat mengganggu dan menghambat kinerja daerah dan mempengaruhi kualitas kinerja terhadap pelayanan publik?.
"Pemenuhan prasyarat ini sebagai landasan hukum yang benar, kalau alasan deposito ini karena ada dana APBD senilai Rp. 250 Milyar yang diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur tetapi gagalnya pelaksanaan proyek APBD 2019 karena disebabkan oleh "hacker" yang merusak sistem pelelangan yang telah dijalankan pihak Unit Layananan pengadaan (ULP) dan Pokja Lamsel sehingga 40% Proyek Infrastruktur gagal dilaksanakan, hal ini tidak menjadi alasan hukum pembenar untuk mendepositokan APBD tersebut, karena dengan deposito ini jelas akan mengganggu dan menghambat kinerja daerah dan mempengaruhi kualitas kinerja terhadap pelayanan publik karena banyak program tidak terlaksana." tegas Ansori.
Praktisi Hukum ini juga merasa heran, mengapa Unit Layananan pengadaan (ULP) dan Pokja Lamsel yang hanya diserang "hacker" menyebabkan dana APBD nya tidak diserap. apakah daerah lain tidak? atau ada daerah lain yang belum terpublish terkait persoalan yang sama? dan diduga tidak ada bukti bahwa Unit Layananan pengadaan (ULP) dan Pokja Lamsel bersungguh-sungguh melawan 'hacker' yang cukup meresahkan misalkan dengan melaporkan ke penegak hukum atau mengundang ahli pembuat sistem yang dapat memperkuat Unit Layananan pengadaan (ULP) dan Pokja Lamsel sehingga 40 % dana APBD yang tertunda dapat diserap sesuai dengan peruntukannya.
"Mendepositokan APBD harus memenuhi persyaratan dan mekanisme yang ada. Kalau ULP dan Pokjanya yang diserang hacker sehingga dana APBD 40 % tersebut kemudian di depositokan dengan menggagalkan proses tender tanpa berupaya untuk membuat sistem ULP dan Pokja yang mumpuni, maka ini diduga hanya "alibi" Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan untuk mencari alasan pembenar bahwa deposito 'halal untuk dilakukan' dengan cara memanfaatkan sistem yang diduga dapat saja dibuat sendiri. Sehingga upaya ini meskipun diperkenankan secara hukum justru upaya ini bertolak belakang dan harus diungkap karena diduga melanggar hukum, cacat prosedural dan administrasi." ujar Ansori.
Ansori juga menegaskan, ditengarai adanya upaya deposito APBD Lampung Selatan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 131 Ayat (1) Perturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, karena diduga tidak memenuhi kriteria sebagai dana milik Daerah yang sementara belum digunakan, kemudian diduga mengganggu likuiditas Keuangan Daerah, serta diduga menggangu tugas daerah serta diduga menyebabkan kualitas pelayanan publik menjadi rendah karena program sudah dianggarkan akan tetapi gagal dilaksanakan.
Disamping itu, proses penyimpanan deposito tersebut diduga tidak berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat, alhasil ini menyebabkan DPRD akan kesulitan melakukan pengawasan atas penggelontoran anggaran tersebut karena diduga telah berubah fungsi dari infrastruktur menjadi deposito, meskipun secara hukum daerah akan mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari deposito tersebut, namun tidak sesuai dengan peruntukan penetapan APBD karena diduga dengan alasan 'hacker' fungsi dananya diduga disimpangkan atas nama hukum.
"Oleh karenanya sebagai Praktisi Hukum dan pihak yang concern terhadap penggunaan anggaran daerah, karena menurut hemat kami diduga proses deposito ini janggal, hanya alasan gagalnya serapan 40 % APBD untuk infrastruktur akibat 'hacker', lalu dengan mudahnya mendepositokan APBD yang sudah ada peruntukannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD Kabupaten Lampung Selatan 2019. Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) mendesak agar penegak hukum baik Kejaksaan, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan kewenangan masing-masing untuk mulai melakukan penyelidikan." pungkas Ansori. (TL/*)
0 Comments