Taktik Lampung - Prihatin atas generasi penerus yang ada saat ini semakin hilangnya karakter dan jati diri karena perkembangan informasi Teknologi ( Imtek) yang tidak diimbangi oleh imformasi Agama ( Imtag) diera digital, salah satu Calon Wali Kota Bandarlampung, Irjen.Pol. Dr.Drs. Hi. Ike Edwin, SH,MH sambangi salah satu Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) empat zaman yakni, KH.Arief Makhya. Dang Gusti Ike Edwin panggilan akrab Irjen.Pol. Dr.Drs. Hi. Ike Edwin, SH,MH, sangat mennyadari Organisasi NU memeliki konstribusi besar dalam kemerdekaan serta pembangunan Negra kita baik pembentukan karekter, dan pendidikan anak bangsa. Atas dasar pemikiran dan rasa kepedulian tersebut, Dang Gusti Ike Edwin diselah-selah kesibukannya yang pandat mennyempatkan diri untuk bersilaturahmi dikediaman salah satu tokoh NU Lampung, KH. Arief Makhya diera kepemimpinan Wali Kota Bandarlampung Tabrani Daud yang notabenenya orang tua dari mantan Ketua DPD Partai Golkar yaitu, Alzier Dianis Thabrani. Bannyak masyarakat yang tidak tau, jika Dang Gusti Ike Edwin adalah cucu dari salah satu pendiri NU Lampung yakni, Pangeran Suhaimi orang tua Baunnyamin Suhaimi, yang notabenenya ayah kandung dari Perdana Mentri Kerajaan Sekala Brak Lampung, Dang Gusti Ike Ike Edwin. Setelah tokoh NU Lampung, Pangeran Suhaimi wafat perjuangan NU secara estafet diteruskan oleh KH. KH.Arief Makhya, yang saat itu Wali Kota Bandarlampung dijabat oleh, Muhammad Thabranie Daud masa bhakti 1969 - 1976. Dalam agenda silaturahmi, Calon Wali Kota, Dang Gusti Ike Edwin yang direncanakan berpasangan dengan dr.Zam Zannariah, mengatakan kebutuhan generasi muda berkarakter jadi hal mendesak di era digital yang penuh dengan banyak perubahan dan pergeseran nilai-nilai kehidupan. "Karakter, adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara,"ujarnya pada Rabu ( 26/2/2020). Dia menjelaskan, pendidikan tidak hanya melulu soal kepintaran. Buat apa sang anak pintar lanjutnya, tapi di kemudian hari dia justru jadi pemimpin yang koruptor. "bersama dr. Zam Zanariah saya memiliki visi dan misi Membangun Bandar Lampung jadi Kota Dunia dengan target menjadikan kota Tapis Berseri jadi Kota Pendidikan. Meski demikian, penataannya tak sebatas fisik saja. Namun butuh paradigma baru, yakni pendidikan berkarakter,"tegasnya. Dalam kesempatan yang sama Tokoh NU Lampung, KH.Arief Makhya sangat mendukung sejumlah program Dang Gusti Ike Edwin jika terpilih sebagai Wali Kota Bandarlampung pereode 2020-2025. Arief Makhya, mengaku sangat berterimakasih karena masih ada salah satu putra dari pendiri NU Lampung yang peduli terhadap generasi penerus bangsa. Dia juga sangat sependapat dengan Dang Gusti Ike Edwin untuk mennyelamatkan generasi penerus bangsa diera digital yang penuh dengan banyak perubahan dan pergeseran nilai-nilai kehidupan. Sejarah Berdirinya NU di Lampung Seperti dikutip dari laman NULampung.or.Id, salah satu tokoh pendiri NU di Lampung adalah, KH. Muhammad Thohir tokoh NU Lampung asal dari Kabupaten Lampung barat yang masih ada benang merah keturunan dari Kerajaan Sekala Brak Lampung. KH. Muhammad Thohir adalah seorang tokoh agama asal Lampung Barat yang amat disegani dan terkenal pada zamannya. Ilmu agamanya tinggi, karena belajar selama 30 tahun di tanah Arab, yaitu Mekah, Madinah, Mesir, Palestina, dan Baghdad. Salah seorang gurunya adalah Syech Abdul Qodir Jaelani, yang banyak mengajarkan ilmu tarekat. Semasa hidupnya, KH. M. Thohir dikenal memiliki pendirian yang keras dan tegas terhadap hukum agama Islam. Meski begitu, beliau dikenal sebagai ulama yang lemah lembut dalam berbicara dan suka memaafkan orang lain. Menurut salah seorang cucu beliau, H. Johan Iskandar TH, ketua PCNU Lampung Barat, kakeknya itu mengajar agama tanpa pamrih, atau tidak pernah memungut bayaran. Semua santri yang berjumlah sekitar 200-an orang tinggal di rumahnya, dan cukup hanya membawa pakaian sehari-hari. KH. M. Thohir pun mengobati orang sakit dengan berbagai keluhan. Banyak diantara pasiennya itu harus menetap di rumahnya hingga berminggu-minggu sampai sembuh. Semuanya dilakukan tanpa pamrih dan ditanggung semua kebutuhan sehari-hari. Pada tahun 1936, KH. M. Thohir mengikuti Muktamar Nahdlatul Ulama di Menes, Serang, Banten. Ada tiga usulan beliau dalam muktamar tersebut, seperti diungkapkan oleh KH Syukron Makmur, pemimpin pondok pesantren Darul Kalam, Jakarta. Yaitu, pembentukan lembaga pendidikan NU, muslimat NU, dan bank Islam. Usulan terakhir diduga merupakan cikal bakal bank berbasis syariah yang banyak dikenal belakangan ini. Sepulang dari muktamar tersebut, KH. M. Thohir membentuk forum silaturahmi alim ulama, yang disebut jaringan NU di Lampung. Jaringan inilah yang kelak menjadi organisasi NU di propinsi Lampung, yang ketika itu masih bergabung dalam propinsi Sumatera Selatan. KH Muhammad Thohir lahir dengan nama Adjma, anak H. Ahmad Khotib, seorang keturunan Banten yang hijrah ke Lampung. Sejak kecil Adjma sudah menunjukkan ketaatannya terhadap ajaran agama Islam. Di kampungnya, Pekon Penengahan, Laai, Krui (yang kini masuk kabupaten Pesisir Barat) Adjma kecil belajar mengaji dan ilmu fiqih. Ketika berusia 16 tahun, Adjma berangkat ke Mekah untuk melanjutkan pelajaran agamanya dan menunaikan ibadah haji. Di tanah suci ini Adjma mengganti namanya menjadi Haji Muhammad Thohir. Tak lama di Mekah, M. Thohir berangkat ke Kairo, Mesir, untuk memperdalam ilmu agama di perguruan Al Alzhar. Di sana M. Thohir tinggal di asrama yang disebut Ruwak Jawa yang artinya Asrama Jawa. Dari M. Thohir mengunjungi Masjidil Aqso di Palestina. Beliau lalu menuju Baghdad dan berguru pada Syech Abdul Qoodir Al Jaelani. Semua perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki. Menurut salah seorang sahabat beliau selama di perantauan, KH Abdul Razak–yang berasal dari Penengahan, Way Lima Lampung Selatan– seperti dituturkan pada keluarga M. Thohir, para sahabat kerap tidak bisa mengikuti perjalanan beliau. KH. M. Thohir suka sekali berziarah di makam nabi-nabi dan wali, terutama di makam Nabi Musa AS. Ketika baru pulang dari Mesir, beliau memiliki batu Musa yaitu batu yang dipukul Nabi Musa dengan tongkat ketika lasykarnya kehausan, yang kemudian mengeluarkan 12 mata air. Ada lima rekan perjuangan KH M. Thohir ketika menuntut ilmu di tanah Arab. Selain KH. Abdul Razak, ada KH Hasbullah dari Kota Agung Kabupaten Tanggamus, KH Abdullah Syafi’uddin dari Rawa Bangke, Jatinegara Jakarta, KH. Syaim’un dari Citangkil Serang Banten, dan KH. Dahlan Djambek asal Payakumbuh , Sumatera Barat. Setiba di kampung halamannya, beliau disambut dengan suka cita oleh masyarakat banyak, terutama oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat. KH Thohir menikah dengan seorang gadis bernama Jamilah, tapi pernikahan itu tidak lama, karena Jamilah meninggal dunia. KH Thohir lalu menikah dengan Fatimah dan mendapatkan tiga anak. KH M. Thohir mulanya mengajar agama di Pekon (Kampung) Balak Way Tegaga, Liwa, Lampung Barat. Beliau lalu diangkat oleh pemerintah Belanda menjadi guru agama Islam di Kewedanaan Krui. Pola pengajarannya adalah dengan bergiliran dari kampung satu ke kampung lain setiap hari jumat di masing-masing kampung. Pada tahun 1915 beliau bersama-sama dengan anak-anaknya pindah Pekon Way Suluh, Krui, dan membuat sawah. Lalu tahun 1925 beliau mendirikan sebuah rumah di kampung tersebut yang dinamakan “Lamban Pardasuka” yang artinya adalah Rumah Bersama. Di rumah bersama inilah para santri yang berasal dari Krui, Liwa, dan Muara Dua, Sumatera Selatan, menetap. Sejak tahun 1945 beliau sering sakit-sakitan. Namun, dalam keadaan sakit, beliau tepap mengajar, hinggat akhir hayatnya. Beliau wafat pada tanggal 18 Januari 1950 bertepatan dengan tanggal 12 rabiul Awal tahun 1370, dalam dalam usia 90 tahun.(TL/*)
0 Comments